Setelah dengan sengaja menunggu hiruk pikuk mengenai keistimewaan Jogja reda, baru saya putuskan untuk ikut berpendapat mengenai polemik yang selama seminggu lebih jadi unggulan di sebuah stasiun televisi berita ini (saya pikir semua orang tahu kenapa?). Bukannya tak peduli, saya jelas peduli karena saya juga merasa bagian dari orang Jogja, melainkan mencoba memahaminya dengan lebih adem sambil mencari-cari referensi yang mencukupi atas pendapat saya ini dan tak menjadi reaktif secara berlebihan atas lontaran persoalan ini. Dan saya lebih memilih sejarah sebagai kacamatanya namun bukan sejarah sebagai obyek arkelogi melainkan sejarah sebagai titik pijak untuk membangun idealita di masa depan secara dinamis.
Kesejarahan
Perjalanan waktu harus ditarik ke tahun 1945 saat negara bernama Republik Indonesia terbentuk, saat itu belum ada Daerah Istimewa Yogyakarta secara formal, yang ada adalah Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman yang bersifat kerajaan. Beberapa hari pasca Proklamasi Kemerdekaan, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII mengucapkan selamat atas terpilihnya Sukarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama.
Saat itu daerah Jogja merupakan negara bagian yang berada dalam wilayah administrasi Jepang yang disebut dengan Kooti yang berarti Jogja diperbolehkan mengurus wilayah negaranya sendirisecara hukum dan politik di bawah pengawasan kekaisaran Jepang. Hampir bersamaan dengan ucapan selamat kepada Sukarno-Hatta, Yogyakarta Kooti Hookookai selaku penguasa wilayah Jogjakarta mengadakan sidang dan memutuskan bahwa mereka mendukung lahirnya negara bernama Republik Indonesia dan akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintah pemerintah baru ini. Status Jogjakarta kemudian diputuskan menjadi status quo sampai terbitnya undang-undang mengenai pemerintah daerah.
Tanggal 5 September 1945 merupakan momentum penting bagi Jogjakarta maupun nasional ketika Sultan HB IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan amanat dimana kedua kerajaan ini menyatakan diri menjadi bagian dari Republik Indonesia dengan status sebagai daerah istimewa. Terdapat 3 poin utama dalam amanat yang menunjukkan keistimewaan dan pernyataan diri integrasi monarki ke republik:
- Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
- Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
- Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Amanat yang sama juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII dengan isi yang hampir sama yakni yang menyatakan bahwa wilayah Yogyakarta adalah daerah istimewa yang merupakan bagian dari Republik Indonesia; Kepala daerah memiliki kewenangan mengatur urusan dalam negerinya; dan Kepala daerah bertanggung jawab langsung kepada presiden Republik Indonesia. Dari sinilah keistimewaan ini mulai dirumuskan, dan kemudian diakomodir sebagai sebutan resmi dalam UU Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1950. Yang menarik dari UU No. 3 tentang Pembentukan DIY ini adalah masih diakomodasinya struktur Dewan Pemerintah sebagai eksekutif pendamping Kepala Daerah (Sultan dan Paku Alam) sesuai Maklumat no 18 tahun 1946. Dewan Pemerintah bertanggungjawab kepada DPRD, sedangkan Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Presiden RI. Yang juga tak kalah menariknya dari UU no 3 ini adalah bagian pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi.
Implikasi lain dari UU No 3 ini adalah hilangnya peran birokrasi yang selama ini diperankan oleh birokrasi kraton, para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Memang Sultan menjadi gubernur, tapi keluarga kraton lain tidak memiliki hubungan apapun dengan birokrasi.
Situasi kemudian hampir tak banyak berubah kecuali perubahan-perubahan minor, namun pada tahun 1965 melalui UU No. 18 Tahun 1965 munculah poin krusial yakni pasal yang menyatakan DI Yogyakarta adalah sebuah provinsi, bukan lagi setingkat provinsi. Regulasi mengenai Pemerintah Daerah tahun 1974 semakin menegaskan bahwa tata laksana pemerintahan Jogjakarta sama dengan daerah lain kecuali pada bagian kepala daerah. Diakui kemudian bahwa keistimewaan Jogjakarta sendiri makin kabur.
Sesudah wafatnya Sultan HB IX pada tahun 1988, pemerintah pusat menunjuk PA VIII sebagai penjabat gubernur DIY. Namun wafatnya PA VIII sepuluh tahun kemudian memunculkan masalah berkaitan dengan peran Gubernur karena regulasi baru mengenai keistimewaan DIY belum ada sementara UU tahun 1974 hanya mengatur saat posisi Gubernur pada masa HB IX dan PA VIII tapi bukan periode penggantinya. Berkat desakan masyarakat lah maka pemerintah RI mengangkat HB X sebagai Gubenur periode 1998-2003. Munculnya UU no 22 Tahun 1999 hanya menyatakan bahwa aturan mengenai keistimewaan Jogja akan diatur dengan UU tersendiri seperi layaknya DKI, Papua, dan Aceh. Sampai habis periode kekuasaannya sebagai gubernur pada tahun 2003, aturan tentang keistimewaan belum terbit juga. HB X kembali diangkat sebagai Gubernur sampai tahun 2008. RUU yang diajukan oleh beberapa pihak seperti Tim dari UGM, DPD, maupun Depdagri belum ada kata putus.
Sekarang bertambah Rumit
Beberapa hal kemudian berkembang menjadi lebih rumit ketika berbicara masalah keistimewaan Jogjakarta ini dan lebih diakibatkan pada tidak ditemukannya regulasi yang mampu mengakomodasi segala fakta dan harapan atas keistimewaan Jogja dan serta makin kaburnya fakta-fakta keistimewaan Jogja itu sendiri yang hanya dipandang sekitar peran individu saja yakni masalah penguasa Kraton Jogja sebagai Gubernur.
Alasan keistimewaan Jogja adalah pada proses pembentukan wilayahnya yang merupakan gabungan dua wilayah monarki ke dalam republik; proses penggabungan ke dalam wilayah kesatuan RI dan sumbangan besarnya pada perjuangan; dan yang paling krusial adalah penetapan kepala daerah nya sesuai Piagam Kedudukan no 19 Tahun 1954 oleh Soekarno kepada HB IX dan PA VIII. Khusus pada bagian ketiga lah yang saat ini jadi poin polemik karena Piagam tersebut menyatakan nama HB IX dan bukan keturunannya. Pada titik ini lah muncul reaksi-reaksi keras, pertama karena RUU keistimewaan tak juga jelas terbitnya sementara aturan-aturan sebelumnya tak ada yang menyebut tentang HB X atau nanti anak keturunan atau keluarga kraton bisa menjadi kepala daerah.
Persoalan makin pelik ketika -maaf- justru HB X turut menjadi bagian dari persoalan ini, dimulai dari pernyataan beliau untuk tidak mau lagi menjabat sebagai Gubernur pada tahun 2007 dalam sebuah Pisowanan Agung di Jogja. Terlebih lagi saat HB X menyatakan diri untuk maju dalam kompetisi politik nasional sebagai Presiden RI pada tahun 2009 lalu. Pasti sangat disadari bahwa masyarakat Jogja sangat menghormati pribadi HB X sebagai tokoh besar di Jogja dan pengayom rakyat Jogja seperti layaknya HB IX namun seharusnya juga menjadi proporsional dalam bereaksi pasca pidato presiden yang menyatakan tentang monarki itu. Benar bahwa pernyataan ”monarki” tersebut tidaklah tepat karena para keluarga kraton tak memiliki kedudukan apapun dalam birokrasi dan kekuasaan layaknya sebuah monarki , tapi sebaiknya hal ini menjadi masukan untuk HB X juga untuk menempatkan dirinya secara tepat di depan rakyat Jogja apakah beliau ingin tampil sebagai pemimpin rakyat Jogja atau tokoh politik nasional. Faktanya hal ini tercampur aduk dan membangun emosi yang kabur juga pada masyarakat. Secara tidak langsung, masyarakat terbelah karena saya yakin tidak semua masyarakat Jogja sepakat dengan langkah-langkah catur HB X dalam politik nasional. Apalagi kalau sampai ada muncul penilaian bahwa HB X tak mau kehilangan aset politiknya di Jogja untuk masuk ke politik nasional lagi sehingga terkesan ngotot penetapan diri beliau sebagai Gubernur. Ini akan sangat merugikan beliau nantinya dan rakyat Jogja pada umumnya.
Ke depan, sesuai dengan perkembangan situasi saat ini justru jadi pembelajaran penting bagi Kemendagri sendiri yang telah menyiapkan regulasi mengenai keistimewaan Jogja dan kita harapkan tak tertunda-tunda lagi demi adanya kepastian hukum. Peluang juga terbuka bagi pemerintah pusat untuk mengusahakan munculnya aturan yang mampu menggali nilai-nilai keistimewaan di atas tadi dan tak cuma melulu pada bagian Kepala Daerah melainkan juga pada asal-usul pembentukan provinsi DIY serta sumbangan DIY dalam perjuangan tadi.
Sejukkanlah situasi ini terlebih dahulu karena pada dasarnya warga Jogja itu pemaaf dan pemaklum, baru kemudian dibuka kembali dialog membangun yang melibatkan banyak pihak. Tentu saja dalam kerangka memajukan Jogjakarta secara umum dan bukan hanya untuk kepentingan sesaat karena penguasa bisa hilang dan berganti sementara Jogja akan ada selamanya selama tidak jatuh dalam kekuasaan bangsa lain.
Saya sangat mencintai Jogja, termasuk Kraton dan juga HB X dan PA IX yang selama ini telah mengayomi dan membawa kedamaian di Jogja. Karena itulah saya berharap polemik ini akan berakhir dimana semua pihak dapat duduk bersama secara setara dan dewasa untuk menyusun regulasi mengenai Jogja. Mau istimewa atau tidak, bagi saya sebagai rakyat biasa, yang paling penting adalah Jogja dapat maju dan tetap damai sampai akhir jaman. Jangan biarkan ada sekelompok partisan menggunakan medianya untuk mengompor isu ini jadi api untuk semata akan digunakan untuk kepentingan politik praktisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar